PJ. JAKARTA – .Masalah Jiwasraya ini mulai terungkap ke publik saat perseroan menunda pembayaran polis yang jatuh tempo pada 10 Oktober 2018 lalu. Nilai polis yang harus dibayar sebesar Rp 802 miliar. Kasus gagal bayar yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya(Persero) sangat menyita perhatian.
Direktur Utama Jiwasraya saat itu, Asmawi Syam, mengakui adanya pengelolaan manajemen yang kurang hati-hati hingga menyebabkan perseroan menunggak pembayaran polis ratusan miliar. Saat itu, dia berjanji akan memperbaiki sisi pengelolaan manajemen. Sayangnya, kewajiban polis yang harus dibayarkan kian menggunung.
Demi menelusuri permasalahan tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun melakukan pemeriksaan terhadap Jiwasraya. BPK sebagai lembaga negara memang memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, termasuk BUMN.
Terhadap Jiwasraya, BPK setidak-tidaknya sudah dua kali melakukan pemeriksaan dalam kurun waktu 2010 hingga 2019. Pemeriksaan yang dilakukan ialah Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) pada 2016 dan Pemeriksaan Investigatif (Pendahuluan) pada 2018.
Hasil pemeriksaannya jelas, BPK menemukan banyak sekali masalah dalam perusahaan asuransi pelat merah tersebut. Dalam PDTT Tahun 2016 saja, BPK mengungkap 16 temuan terkait dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan dan biaya operasional Jiwasraya tahun 2014 hingga 2015.
Masalah Jiwasraya ternyata merupakan proses akumulasi yang cukup panjang. Bagaikan bom waktu, permasalahan di Jiwasraya dipastikan akan meledak dan itu sudah terjadi. Bahkan, Kepala BPK Agung Firman Sampurna mengatakan Jiwasraya sudah bermasalah sejak 2006.
Jiwasraya disebut memanipulasi laporan keuangan di tahun sejak 2006. Meski mencatatkan laba, namun laba itu disebut semu karena adanya rekayasa akuntansi. BPK lantas memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) untuk laporan keuangan 2006-2007 lantaran penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.
Defisit perseroan semakin lebar, yakni Rp 5,7 triliun pada 2008 dan Rp 6,3 triliun pada 2009. Bukan cuma BPK yang menilai ada kejanggalan di Jiwasraya, Kementerian BUMN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menyatakan ekuitas perseroan tercatat negatif Rp 3,29 triliun pada 2016.
Pada 9 Januari kemarin, BPK akhirnya membuka berbagai temuan bermasalah Jiwasraya ke publik. Lantas, apa saja masalah Jiwasraya yang diungkap BPK?
Temuan-temuan dari pemeriksaan tersebut antara lain investasi pada saham TRIO, SUGI, dan LCGP tahun 2014 dan 2015 tidak didukung oleh kajian usulan penempatan saham yang memadai.
Jiwasraya berpotensi menghadapi risiko gagal bayar atas transaksi pembelian medium term note pada PT. Hanson Internasional (HI) dan perseroan kurang optimal dalam mengawasi reksadana yang dimiliki dan terdapat penempatan saham secara tidak langsung di satu perusahaan yang berkinerja kurang baik.
Agung selaku ketua BPK mencatat, Jiwasraya membukukan kerugian Rp 13,7 triliun pasca September 2019. Pada posisi November 2019 Jiwasraya diperkirakan mengalami negatif ekuitas sebesar Rp 27,7 triliun. Kerugian itu karena Jiwasraya menjual produk saving plan dengan cost of fund (COF) yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi yang dilakukan secara masif sejak 2015.
“Dana dari investasi tersebut diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana saham yang berkualitas rendah sehingga mengakibatkan adanya negative spread. Pada akhirnya hal ini mengakibatkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya yang berujung pada gagal bayar,” kata Agung.
Selain itu, BPK juga menemukan adanya penyimpangan dalam penjualan produk Saving Plan Jiwasraya. Produk saving plan merupakan produk yang memberikan kontribusi pendapatan tertinggi di Jiwasraya sejak 2015. Produk ini sebenarnya merupakan produk simpanan dengan jaminan return yang sangat tinggi dengan tambahan manfaat asuransi.
Penyimpangan yang ditemukan ialah penunjukan pejabat bancassurance yang tidak sesuai ketentuan. Selain itu, adanya pengajuan COF langsung kepada direksi, tanpa melibatkan divisi terkait dan tidak didasarkan pada dokumen perhitungan COF dan review usulan COF.
“Penetapan COF saving plan tidak mempertimbangkan kemampuan investasi Jiwasraya untuk menghasilkan pendapatan yang diperlukan untuk menutup biaya atas produk asuransi yang dijual. Dalam pemasaran produk saving plan yang diduga ada konflik kepentingan karena pihak-pihak terkait di Jiwasraya mendapatkan fee atas penjualan produk tersebut,” jelasnya
Masalah lainnya yang ditemukan, Jiwasraya juga melakukan investasi pada saham-saham perusahaan yang berkualitas rendah yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan. Bahkan, diduga, Jiwasraya sengaja melakukannya.
“Analisis pembelian dan penjualan saham diduga dilakukan secara pro forma dan tidak didasarkan atas data yang valid dan obyektif. Kemudian melakukan aktivitas jual beli saham dalam waktu yang berdekatan untuk menghindari pencatatan unrealized gross, yang kami duga window dressing juga,” ungkap Agung.
“Jual beli dilakukan dengan pihak tertentu secara negosiasi agar bisa memperoleh harga tertentu yang diinginkan, kepemilikan atas saham tertentu melebihi batas maksimal yaitu di atas 2,5%” sambungnya.
Jiwasraya, kata Agung, juga melakukan investasi langsung pada saham-saham yang tidak liquid dengan harga yang tidak wajar. Selain saham, Manajemen Jiwasraya bersama pihak manajer investasi juga diduga menyembunyikannya pada beberapa reksa dana dengan underlying saham.
“Pemeriksaan BPK sedang menganalisis prediksi atau hipotesis tersebut. Hal ini belum final, harus dicatat. Dan dapat berkembang sesuai bukti-bukti yang dikumpulkan dalam pemeriksaan BPK selanjutnya,” tambah Agung.
Jual beli saham tersebut, kata Agung, diindikasikan dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi dan diduga dilakukan dengan mereka yang sengaja, sehingga harga jual beli tidak mencerminkan harga yang sebenarnya. Pihak-pihak yang dimaksud adalah pihak internal Jiwasraya pada tingkat direksi, general manager, dan pihak lain di luar Jiwasraya.
“Saham-saham tersebut antara lain adalah BJBR, SMBR, PPRO. Indikasi kerugian sementara akibat transaksi tersebut diperkirakan sekitar Rp 4 triliun,” katanya.
Untuk reksa dana, pada posisi per 30 Juni 2018 Jiwasraya memiliki sekitar 28 produk reksa dana dan 20 produk reksa dana di atas 90%. Reksa dana tersebut juga sebagian besar dengan underlying saham berkualitas rendah dan tidak likuid.
Dalam investasi reksa dana BPK menemukan penyimpangan. Pertama, analisis manajer investasi dari Jiwasraya dalam rencana subscription atau berlangganan reksa dana tidak dilakukan secara memadai dan diduga dibuat secara pro forma agar manajer investasi terlihat seolah-olah memiliki kinerja yang baik.
Artinya ada rekayasa yang kembali dilakukan Jiwasraya. Rekayasa ini dilakukan agar manajer investasi yang dimaksud dapat dipilih oleh Jiwasraya dalam mengelola investasi.
“Investasi reksa dana memiliki underlying saham-saham dan MTN berkualitas rendah, dan transaksi pada saham-saham tersebut diindikasikan dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi. Di antara saham-saham dan MTN tersebut adalah merupakan arahan dari Jiwasraya yang seharusnya tidak dilakukan oleh Jiwasraya selaku investor.
“Indikasi kerugian sementara akibat penurunan nilai saham pada reksadana ini diperkirakan sekitar Rp 6,4 triliun,” tuturnya.
Agung mengatakan, dalam temuan BPK, ada indikasi ‘kongkalikong’ antara manajemen Jiwasraya dengan pihak-pihak yang terkait dengan saham-saham yang dijadikan instrumen investasi tersebut.
“Ada pembelian saham yang tidak valid dan objektif. Kemudian jual beli dilakukan dengan pihak-pihak tertentu untuk mendapat harga yang ditentukan. Investasi saham yang tidak likuid. Pihak yang diajak transaksi saham adalah grup yang sama,” sambung dia.
Agung sendiri tak merinci pihak-pihak yang dimaksud. Tapi perlu diketahui, dalam industri pasar modal, perdagangan saham dilakukan lewat dua metode. Pertama adalah transaksi langsung yang dilakukan oleh investor dan difasilitasi oleh broker perdagangan saham.
Metode lainnya adalah lewat manager investasi dalam bentuk produk reksa dana. Saham yang dibeli dalam reksa dana, menurut aturan pasar modal, sepenuhnya merupakan kewenangan manager investasi.
Karena besarnya kasus Jiwasraya ini, Agung menyatakan akan mengambil kebijakan yang berhati-hati. Bahkan, Agung menyebut besarnya kasus ini dengan skala gigantik alias sangat besar hingga berisiko sistemik.
“Saya ingin menyampaikan, kondisi sekarang kita adalah situasi yang mengharuskan kita untuk memiliki pilihan kebijakan yang hati-hati. Di mana kasus ini cukup besar, skalanya bahkan saya katakan gigantik, sehingga memiliki risiko sistemik,” kata Agung.
Agung mengatakan, saat ini aparat penegak hukum sedang melakukan investigasi untuk mencari siapa-siapa saja pihak yang bertanggung jawab terhadap kasus Jiwasraya.
“Oleh karena itu kami ambil kebijakan, masalah yang terjadi PT Jiwasraya akan kami ungkap. Mereka yang bertanggung jawab akan kita identifikasi. Yang betul-betul bersalah melakukan perbuatan pidana atau niat jahat dilakukan aparat penegakan hukum biar lah diproses penegakan hukum. Dan itu sedang dilakukan,” katanya.
Kemudian pada 30 Desember 2019 lalu, Kejaksaan Agung telah meminta BPK untuk melakukan penghitungan kerugian negara pada kasus Jiwasraya. Permintaan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pemaparan oleh pihak Kejaksaan Agung kepada BPK.
Dari hasil pemaparan tersebut BPK menyimpulkan terjadi penyimpangan (perbuatan melawan hukum) dalam pengumpulan dana dari produk Saving Plan maupun penempatan investasi dalam bentuk saham dan reksa dana yang mengakibatkan adanya kerugian negara.
Namun nilai kerugian negara yang nyata dan pasti baru dapat ditentukan setelah BPK melakukan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara.
“BPK simpulkan terjadi penyimpangan dari perkumpulan dana atau penempatan investasi dalam bentuk saham dan reksa dana pada kerugian negara. Baru dapat ditentukan setelah BPK investigasi kerugian negara, ini butuh waktu. Dan selesai dalam waktu sekitar 2 bulan,” tuturnya.
Di sisi lain, Menteri BUMN Erick Thohir mengapresiasi pemeriksaan yang telah dilakukan oleh BPK yang telah memberikan laporan sejak tahun 2008. Pemerintah, kata Erick, juga terus berupaya mencari solusi terhadap masalah Jiwasraya.
“Apa yang sedang dilaksanakan oleh BPK bersama Kejaksaan sudah sejalan dengan koordinasi yang telah dilakukan bersama. Di saat seperti ini, semua pihak harus saling bahu-membahu mencari solusi sesuai porsinya,” tutur Erick.
Kini, Jiwasraya dihadapkan pada kewajiban jatuh tempo polis produk JS Saving Plan pada Oktober-Desember 2019 sebesar Rp 12,4 triliun. Jumlah itu membengkak sangat signifikan dari yang mulanya hanya sebesar Rp 802 miliar pada Oktober 2018. Tak salah memang bila BPK menyebut kasus Jiwasraya berskala giganti seperti diwartakan dan dilansir detik.com.(*)