PJ. JAKARTA – Rencana Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly membebaskan narapidana kasus korupsi merupakan kebijakan yang gegabah. Korupsi merupakan salah satu kejahatan luar biasa, tidak bisa disamakan dengan tindak kriminal biasa. Jika benar-benar dilakukan, pembebasan itu akan menimbulkan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi.
Dilansir dari tempo.co Dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu lalu, Yasonna mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Perubahan aturan ini demi melonggarkan syarat pembebasan bagi narapidana kasus kejahatan khusus, seperti korupsi dan narkotik. Sebagian napi jenis kejahatan itu termasuk yang akan dilepas bersama napi kriminal biasa, berkaitan dengan upaya mencegah penyebaran virus corona.
Kebijakan mengurangi jumlah napi dalam penjara yang selama ini kelebihan penghuni tidaklah salah di tengah pandemi Covid-19. Cuma, persoalannya menjadi lain bila napi kasus korupsi dan kasus narkotik termasuk yang mendapat diskon hukuman. Rencana tersebut hanya akan semakin memperlihatkan sikap pemerintah yang tidak serius dalam memberantas narkotik dan korupsi.
Menteri Yasonna berencana melepas narapidana korupsi yang berusia 60 tahun ke atas dan telah menjalani dua pertiga masa hukuman. Jumlahnya sekitar 300 orang. Adapun kriteria narapidana kasus narkotik yang akan dibebaskan adalah telah menjalani dua pertiga masa pidana. Jumlah mereka 15.482 orang. Bersama napi kasus kriminal biasa, total napi yang akan diberi diskon hukuman mencapai 35 ribu orang.
Rencana pembebasan ribuan napi kasus narkotik itu sungguh berbahaya. Sebagian dari mereka ada kemungkinan akan semakin leluasa beraktivitas lagi dalam bisnis barang terlarang itu. Selama ini pun, peredaran narkotik banyak dikendalikan oleh napi di penjara.
Begitu pula pemberian pemotongan hukuman bagi napi kasus korupsi. Langkah ini merupakan kemunduran dalam memerangi korupsi. Efek jera bagi koruptor akan semakin berkurang. Padahal kejahatan ini masih merajalela di negara kita. Indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2019 versi Transparency International Indonesia, misalnya, masih kecil, yakni 40, hanya naik dua poin dibanding pada 2018. Indonesia berada di urutan ke-85 dari 180 negara.
Pembebasan koruptor juga akan semakin memperburuk citra pemerintah dalam urusan pemberantasan korupsi. Sebelumnya, pemerintah Joko Widodo telah memandulkan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK kini tidak lagi punya taring setelah pemerintah bersama DPR merivisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mencegah penularan virus corona di lembaga pemasyarakatan sungguh penting. Hanya, memanfaatkan momentum pandemi untuk memberikan “hadiah” bagi napi kasus narkotik dan korupsi sungguh sembrono. Rencana ini hanya akan merusak aturan hukum kita yang selama ini memperketat syarat pembebasan napi kasus kejahatan khusus.(*)