ANOMALI DEMOKRASI DALAM PILKADA 2020
Oleh : Ali Mahyail F
(Pemerhati Sosial dan Anggota Bawaslu Kota Bekasi)
POTRETJABAR.COM – Perhelatan Pilkada serentak tahun 2020 tinggal hitungan hari lagi, Presiden Jokowi pun sudah menetapkan bahwa pada tanggal 9 Desember adalah hari libur Nasional, tentu dengan harapan bahwa pada tanggal pencoblosan tersebut, seluruh masyarakat di 270 daerah yang melaksanakan Pilkada, dapat menggunakan hak pilihnya secara bebas.
Untuk dapat memilih Pemimpin daerah yang sesuai dengan harapan, sehingga dihasilkan pemimpin daerah yang berkualitas, cerdas, visioner dan dapat memajukan daerah dalam masa kepemimpinan 5 tahun ke depan.
Agar rakyat dapat memilih secara baik dan benar, maka sejatinya harus mengetahui Visi dan Misi setiap Calon Kepala Daerah, rekam jejak calon serta kemampuan memimpin sang calon agar mampu mewujudkan Visi Misinya, tampa pengetahuan tentang 3 hal tersebut, maka rakyat akan sulit mendapatkan pemimpin yang sesuai harapan.
Demokrasi yang sehat seharusnya memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada calon pemilih untuk dapat mengetahui secara detail gambaran calon yang akan dipilihnya, apakah dia seorang pemimpin sejati yang akan membawa pada kemaslahatan, atau dia hanyalah seorang demagog yang justru akan merusak tatanan dan bertindak hanya untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja.
Dalam konteks ini, sungguh sangat miris jika kita membaca hasil Survey Kompas (29/11) yang menggambarkan bahwa 68,9 % pemilih ternyata tidak mengikuti, tidak tau kampanye Calon Kepala Daerah, padahal waktu pencoblosan hanya tinggal beberapa hari lagi.
Artinya hampir 70% rakyat akan memilih Calon Kepala Daerah tanpa mengetahui Visi Misi si calon tersebut, rakyat akan memilih “Kucing dalam Karung” atau memilih hanya berdasarkan ketenaran calon, pendekatan Primordialisme, Koncoisme atau bisa jadi karena pendekatan materi semata (Money Politics/Vote Buying).
Proses pemilihan yang seharusnya menjadi puncak pengejawatahan sistem Demokrasi yang agung (Karena sudah merupakan kesepakatan the founding fathers) terdegradasi hanya sebatas ritual mencoblos di TPS saja, kondisi ini disebut Ray Rangkuti, Aktivis Lingkar madani sebagai proses demokrasi yang minimalis, yaitu sebuah proses demokrasi yang asal tidak melanggar konstitusi an sich, tampa dapat menyentuh Substansi Demokrasi itu sendiri.
Robert A Dahl dalam bukunya Democracy and its critics menggambarkan beberapa perilaku yang disebut sebagai anomali demokrasi, sebuah perilaku yang menyimpang dari konsep demokrasi yang genuine.
Perilaku demokrasi yang anomali dalam pilkada 2020, bukan hanya besarnya ketidak tahuan pemilih terhadap calon yang akan dipilihnya, Bawaslu juga mencatat lebih dari 2.100 pelanggaran terhadap protokol Kesehatan (Prokes) dan 1.109 temuan dan laporan pelanggaran terkait Netralitas ASN.
Pelanggaran terhadap penyalah gunaan wewenang dan penggunaan program-program daerah marak dilakukan, Bawaslu setidaknya telah mendiskualifikasi 7 pasangan calon, (Baik petahana maupun bukan) terkait pelanggaran – pelanggaran di atas, tindak kekerasan terhadap aparat pengawas juga kerap terjadi, Ratna Dewi Pettololo Koordiv, penindakan Bawaslu RI mengungkapkan terdapat 31 kasus tindak kekerasan terhadap pengawas di lapangan, baik kekerasan fisik maupun verbal.
Kondisi di atas dapat menjadi lebih parah, karena infrastruktur demokrasi yang kurang memadai di masa pandemi ini, kurangnya sosialisasi dari KPU dan Stake Holder lainnya, kurangnya pengguna internet karena banyak blank spot di daerah – daerah tertentu (terkait kampanye daring), atau sikap masyarakat yang lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan ekonomi/perut yang semakin sulit saat ini, ketimbang mengikuti proses-proses Pilkada yang dianggap tidak terlalu urgen menurut mereka, dimana hal ini tentu akan mengakibatkan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat (yang merupakan inti dari demokrasi).
Sehingga akan mempengaruhi basic legitimasi pemimpin kepala daerah yang terpilih.
Demokrasi dalam Pilkada adalah sebuah keniscayaan, sehingga dalam kondisi apapun kita harus tetap menjaga kualitasnya dengan cara melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam Spketrum yang luas, memastikan masyarakat memilih hanya berdasarkan Klualifikasi yang sesuai harapannya dan menjaga proses agar sesuai dengan aturan – aturan Konstitusional sambil menjaga agar demokrasi tidak berubah menjadi hanya sekedar Formalisme belaka.
Apalagi digunakan dengan menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan kepemipinan daerah. Karena kekuasaan adalah sebuah jalan, bukan tujuan, kekuasaan seharusnya digunakan untuk meningkat kesejahteraan seluruh rakyat di daerah tersebut, dan itu hanya dapat tercapai jika pemilihan dilakukan dengan cara demokratis tampa anomali-anomali.
Perilaku Anomali dalam proses demokrasi harus kita eliminir bersama, oleh seluruh komponen baik Pemerintah, Penyelenggara, Partai Politik, Kandidat, Tim Sukses dan Masyarakat pemilih, semua punya peran dan kesempatan yang sama untuk menciptakan demokrasi yang sejati.
Demokrasi yang seharusnya berkolerasi dengan kesejahteraan dan partisipasi rakyat, bukan demokrasi abal-abal yang hanya menghabiskan uang rakyat.
Salam Demokrasi.
Bekasi, 1 Desember 2020
Penulis : Ali Mahyail F
(Pemerhati Sosial dan Anggota Bawaslu Kota Bekasi)
Editor : Endang Firtana